Senin, 16 November 2009

PLTN Solusi (terakhir) Atasi Krisis Energi


Perlahan namun pasti Indonesia berencana mengembangkan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Peraturan Pemerintah No.43/2006
tentang perizinan Reaktor Nuklir tertanggal 15 Desember 2006 lalu,
merupakan momentum awal kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai PTLN. Kini, tinggal menunggu dikeluarkannya Keppres bagi
kalangan investor untuk terlibat dalam pengembangan PLTN di Indonesia. Namun, mengapa sebagian masyarakat menolak keras?

Energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor nuklir pembangkit daya
mulai gencar dikampanyekan setelah konferensi Genewa "On the
peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori PBB sekitar 1955.
Pada mulanya perjanjian ini disepakati lima negara besar pemilik
senjata nuklir, dengan tujuan agar tidak melakukan transfer teknologi
senjata nuklir ke negara lain. Selain itu, untuk pengurangan produksi
dan penghancuran senjata nuklir saat itu. Hingga 1973 Amerika Serikat mengalami embargo minyak. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mampu membantu negara Paman Sam
tersebut mengatasi krisis energi. Sekitar 17% sumber listrik dipasok
dengan membakar minyak dan hanya 5% dipasok dari energi nuklir.
Namun, dalam waktu 20 tahun kemudian (1993) sumber listrik dari
minyak bumi hanya sekitar 3%, sedangkan pasokan listrik energi nuklir
naik menjadi 20%.
Di Jepang, desain PLTN dibangun anti gempa sehingga mampu
beroperasi dan memasok listrik kala gempa dasyat melanda sekitar
musim dingin 1995. Lain halnya dengan Korea Selatan, pengembangan
PLTN mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, dari
semula 400 dolar AS/tahun pada 1970 menjadi 10.000 dolar AS/tahun
pada 2000.
Kendati dinilai menguntungkan bagi masyarakat di beberapa negara,
namun Indonesia tidak serta merta mengambil keputusan serupa
meskipun dalam beberapa tahun ini sudah mengalami kesulitan
pasokan BBM untuk pembangkit listrik. Beberapa pengamat energi
bahkan memprediksikan, Indonesia akan menjadi negara pengimpor
minyak pada 2020.
Tentunya, pemerintah tidak tinggal diam menghadapi masalah pelik di
bidang sumber energi untuk pembangkit listrik ini. Dalam beberapa
tahun terakhir, langkah mencari energi alternatif giat dilaksanakan.
Listrik umumnya dibangkitkan dari turbin yang digerakkan uap air. Uap
air dihasilkan dengan mendidihkan air dalam bejana (boiller). Bahan
bakar yang sering digunakan untuk mendidihkan air inilah yang
membedakan nama pembangkit listrik. Pembangkit yang menggunakan
bahan bakar fosil, biasanya disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU).
PLTU sudah tersebar di Indonesia, dan telah mengalami masalah
pergiliran pasokan arus listrik, harga, bahkan polusi. Masalah pergiliran
pasokan arus listrik disebabkan masalah pasokan yang terbatas, karena
tak adanya cadangan sumber listrik. Tentunya, harga dipastikan naik
terus mengikuti harga minyak bumi.
Sementara itu, penggunaan batu bara untuk suatu PLTU mulanya
memang murah, namun sumber polusi banyak dikeluhkan. Jika gas,
seperti SO2,CO2,NOX, sebagai hasil pembakaran disaring menggunakan
filter, maka harga listrik menjadi tinggi dan tak kompetitif dengan
pembangkit lain. Sebaliknya, jika tidak dilakukan tindakan, akan
menyebabkan pencemaran dan merusak lingkungan. Selain itu, PLTU
batu bara masih mengeluarkan radioaktif alam hasil pembakaran dan
debu hasil pengangkutan yang setiap tahunnya mencapai 300.000 ton
pada kapasitas 1000 Mega Watt elektrik (MWe).
Alternatif sumber energi pembangkit daya yang paling aman dan murah
adalah tenaga air. Namun tenaga air ini sangat tergantung curah hujan
dan memerlukan lahan yang sangat besar untuk menampung air.
Padahal lahan yang digunakan cukup subur untuk ditanami tanaman
pangan, serta jumlahnya terbatas, dan lokasinya tak dapat dipindahkan
sesuai keperluan. Demikian pula dengan panas bumi, selain lokasi,
teknologi untuk mengatasi belerang belum ada.
Satu lagi bahan bakar untuk mendidihkan air yaitu uranium 235 dalam
PLTN. Banyak pengamat energi menilai, PLTN sangat ekonomis, kirakira
sama dengan harga PLTU batu bara tanpa pengolahan limbah.
Sebenarnya, ada lima tipe PLTN yang banyak digunakan negara-negara
maju saat ini. Dua tipe Boilling Water Reactor (BWR) dan Pressurized
Water Reactor (PWR) dari Amerika. Kedua tipe, BHWR atau PHWR
dengan pendingin air berat yang dikenal dengan tipe CANDU dari
Canada, serta satu tipe dengan pendingin gas yang dikembangkan di
Amerika dan Inggris.
Pemerintah Indonesia pun akhirnya menyusun rencana pemanfaatan
teknologi nuklir untuk pembangkit listrik. Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (Bapeten), bisa dibilang, instansi yang paling bertanggung jawab
terhadap ’aturan main’ pembangunan PLTN di Indonesia. Sebagai
insitusi bidang pengawasan, Bapeten diberi mandat membuat peraturan
termasuk memberikan izin dan melakukan inspeksi bagi para pengguna
teknologi nuklir di Indonesia. Ada tiga prinsip utama yang menjadi
landasan instansi yang baru dibentuk pada 1998 ini, yaitu keselamatan
(safety), keamanan (security), dan kedamaian (safeguards) .
Acuan dasar pengembangan nuklir di Indonesia, yaitu UU No.10/1997
tentang Ketenaganukliran. Dan sekitar Desember 2006 diterbitkan
Peraturan Pemerintah No.43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir yang
merupakan hasil rembug 15 departemen terkait, termasuk Bapeten.
Dari sisi teknis tenaga nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan)
bahkan sudah bersusah payah mencari lokasi yang dinilai tepat untuk
dibangun PLTN. Dari sekitar 14 tapak yang ditelusuri di seluruh wilayah
Indonesia, akhirnya ditentukan sekitar lima lokasi yang dinilai layak
untuk dibangun PLTN. Namun, kemudian ditentukan satu wilayah yang
paling layak dibangun, yaitu di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara.
Menurut Ferhat Aziz, Kepala Biro Kerjasama Hukum dan Humas Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan) sedikitnya 15 faktor dinilai untuk
kelayakan tapak PLTN di Muria tersebut, lima diantaranya berkaitan
dengan faktor keselamatan pembangunan. ''Boleh dibilang, penyiapan
lokasi ini sebagai insentif pembangunan PLTN tahap awal dari Batan,''
ujarnya.
Untuk Indonesia, Batan merekomendasikan pengembangan PLTN jenis
PWR (pressurized water reactor) atau 'reaktor air tekan'. PWR
menggunakan dua sistem pendingin, primer dan sekunder, berbeda
dengan jenis BWR (boiling water reactor) yang hanya mengggunakan
satu sistem pendingin. ''PWR paling banyak digunakan negara-negara
di dunia, seperti Amerika Serikat, Korea, Jepang dan negara-negara di
Eropa,'' ujarnya.
Namun hal itu belum cukup memuluskan jalan pengembangan tenaga
nuklir untuk pembangkit daya. Menurut Dr Ir As Natio Lasman, Deputi
Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, setelah dikeluarkan
peraturan pemerintah, harus ada pula Keppres dan peraturan Kepala
Bapeten.
Salah satu regulasi yang kini tengah ditunggu kalangan bidang nuklir,
yaitu Keppres mengenai Tim Nasional Pembangunan Nuklir. Keppres
tersebut kini tengah digodok di Sekretariat Negara RI, dan menunggu
disahkan Presiden. Tim Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres
tersebut nantinya akan bertugas menyusun organisasi kepemilikan
PLTN. ''Timnas akan menentukan kepemilikan PLTN apakah swasta
murni, atau campuran swasta dan pemerintah. Jika sudah ditetapkan ,
maka investor baru bisa masuk. Namun, jika pemerintah menunda
keluarnya Keppres tersebut maka dapat dipastikan target operasional
PLTN di Indonesia akan tertunda,'' ujarnya.
Tidak hanya itu saja, sejumlah investor sudah ancang-ancang
membangun PLTN di Indonesia. ''Saya tidak bisa menyebutkan nama
perusahaan tertentu, namun berasal dari Korea, Jepang, Perancis,
Amerika Serikat, termasuk Rusia,'' ujar Ferhat.
Sedangkan perusahaan dalam negeri yang dinilai siap membangun
PLTN di Indonesia, yaitu PT Pembangkit Listrik Negara (PLN). “Dari sisi
sumber daya manusia sudah tentu berpengalaman dalam bidang
pembangkit tenaga listrik, tinggal menambah kemampuan di bidang
nuklir. Bisa mengambil dari sekolah atau perguruan tinggi yang
mendalami bidang nuklir,” imbuhnya.
Disaat pemerintah bergiat menyusun perangkat aturan PLTN, sebagian
kalangan masyarakat justru bersikap sebaliknya, yaitu menentang
pengembangan PLTN di Indonesia. Bupati Kudus, HM Tamzil, misalnya,
menolak rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Dia
kabarnya telah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, DPR, dan DPD untuk mengambil kebijakan yang berpihak
pada rakyat, yakni membatalkan rencana pembangunan PLTN di Muria.
Alasannya pembangunan PLTN belum mendapatkan kesepakatan dari
masyarakat. “Sangat tidak arif dan bijaksana jika pemerintah tetap
memaksakan kehendak membangun PLTN, sementara masyarakat di
sekitar lokasi pembangunan PLTN menolaknya.”
Ketidaksetujuan pembangunan PLTN juga dilontarkan Praktisi kelistrikan
yang juga Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri
Mumpuni. “Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana pembangunan
PLTN di Pulau Jawa. Ketergantungan pada negara lain sangat tinggi.
Kenapa kita tidak mengembangkan pembangkit listrik yang bisa
dibangun sendiri, karena masih banyak potensi yang lain seperti panas
bumi dan air,” Kata Mumpuni, yang sejauh ini telah membangun 60
pembangkit listrik tenaga mikro hidro di beberapa daerah.
Dari kalangan LSM pun juga melontarkan komentar yang senada.
Mereka berpendapat jika pembangunan PLTN dianggap merupakan
suatu opsi untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, maka perlu
dilakukan studi atas aspek kelayakan pembangunan PLTN, yang
mencakup berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi, kelayakan teknis
pilihan lokasi (apakah lokasi termasuk dalam daerah patahan yang
secara geologis rentan terhadap gempa, bahaya gelombang laut atau
tsunami), aspek lingkungan (pencemaran, radiasi nuklir, dan
kemungkinan terjadinya kecelakaan nuklir), aspek sosial budaya dan
psikologis masyarakat, serta aspek pembiayaan dan investasi proyek.
Hasil studi kelayakan nantinya harus secara transparan disampaikan
pada masyarakat.
Penolakan rencana pembangunan PLTN terus menggelinding bak bola
salju. Melihat keadaan seperti ini, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto
berpendapat, jika sampai sekarang terus terjadi penolakan dari
masyarakat, itu berkaitan dengan sosialisasi rencana pembangunan
PLTN belum maksimal. Semestinya sosialisasi menjadi catatan tersendiri
bagi Batan. Sebab, masyarakat khawatir kalau-kalau terjadi efek-efek
dari PLTN yang tidak diinginkan. Untuk itu, Badan Tenaga Atom Nasional
(Batan) diminta memberi penjelasan secara gamblang kepada
masyarakat sekitar calon lokasi PLTN tentang manfaat dan dampak
PLTN.
Menurut kajian Batan tahun 2003, diperoleh gambaran di masa depan
Indonesia menghadapi krisis energi. Apalagi dengan cadangan sumber
daya yang terus menipis diperlukan upaya-upaya serius mengatasinya.
Jika tidak maka Indonesia akan dihadapkan pada krisis energi
berkelanjutan.
Data yang ada menyebutkan cadangan sumber daya minyak bumi di
Indonesia saat ini sekitar 321 miliar barel (1,2% potensi dunia), gas
bumi sekitar 507 TSCF (3,3% potensi dunia), batubara sekitar 50 miliar
ton (3% potensi dunia), panas bumi sekitar 27 ribu MW (40% potensi
dunia), tenaga air sekitar 75 ribu MW (0,02% potensi dunia). Apabila
tingkat produksi tetap seperti tingkat tahun 2002 dan tidak ada
cadangan terbukti yang baru, maka cadangan minyak bumi diperkirakan
akan habis dalam waktu kurang 10 tahun, gas bumi dalam waktu 30
tahun dan batubara dalam waktu 50 tahun. Munculnya PLTN sebagai
solusi akhir mengatasi krisis energi di masa depan perlu menjadi
pertimbangan, tapi munculnya keluhan masyarakat agaknya patut
dicermati kalangan pengambil keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar