Senin, 16 November 2009

PLTN Solusi (terakhir) Atasi Krisis Energi


Perlahan namun pasti Indonesia berencana mengembangkan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Peraturan Pemerintah No.43/2006
tentang perizinan Reaktor Nuklir tertanggal 15 Desember 2006 lalu,
merupakan momentum awal kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai PTLN. Kini, tinggal menunggu dikeluarkannya Keppres bagi
kalangan investor untuk terlibat dalam pengembangan PLTN di Indonesia. Namun, mengapa sebagian masyarakat menolak keras?

Energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor nuklir pembangkit daya
mulai gencar dikampanyekan setelah konferensi Genewa "On the
peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori PBB sekitar 1955.
Pada mulanya perjanjian ini disepakati lima negara besar pemilik
senjata nuklir, dengan tujuan agar tidak melakukan transfer teknologi
senjata nuklir ke negara lain. Selain itu, untuk pengurangan produksi
dan penghancuran senjata nuklir saat itu. Hingga 1973 Amerika Serikat mengalami embargo minyak. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mampu membantu negara Paman Sam
tersebut mengatasi krisis energi. Sekitar 17% sumber listrik dipasok
dengan membakar minyak dan hanya 5% dipasok dari energi nuklir.
Namun, dalam waktu 20 tahun kemudian (1993) sumber listrik dari
minyak bumi hanya sekitar 3%, sedangkan pasokan listrik energi nuklir
naik menjadi 20%.
Di Jepang, desain PLTN dibangun anti gempa sehingga mampu
beroperasi dan memasok listrik kala gempa dasyat melanda sekitar
musim dingin 1995. Lain halnya dengan Korea Selatan, pengembangan
PLTN mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, dari
semula 400 dolar AS/tahun pada 1970 menjadi 10.000 dolar AS/tahun
pada 2000.
Kendati dinilai menguntungkan bagi masyarakat di beberapa negara,
namun Indonesia tidak serta merta mengambil keputusan serupa
meskipun dalam beberapa tahun ini sudah mengalami kesulitan
pasokan BBM untuk pembangkit listrik. Beberapa pengamat energi
bahkan memprediksikan, Indonesia akan menjadi negara pengimpor
minyak pada 2020.
Tentunya, pemerintah tidak tinggal diam menghadapi masalah pelik di
bidang sumber energi untuk pembangkit listrik ini. Dalam beberapa
tahun terakhir, langkah mencari energi alternatif giat dilaksanakan.
Listrik umumnya dibangkitkan dari turbin yang digerakkan uap air. Uap
air dihasilkan dengan mendidihkan air dalam bejana (boiller). Bahan
bakar yang sering digunakan untuk mendidihkan air inilah yang
membedakan nama pembangkit listrik. Pembangkit yang menggunakan
bahan bakar fosil, biasanya disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU).
PLTU sudah tersebar di Indonesia, dan telah mengalami masalah
pergiliran pasokan arus listrik, harga, bahkan polusi. Masalah pergiliran
pasokan arus listrik disebabkan masalah pasokan yang terbatas, karena
tak adanya cadangan sumber listrik. Tentunya, harga dipastikan naik
terus mengikuti harga minyak bumi.
Sementara itu, penggunaan batu bara untuk suatu PLTU mulanya
memang murah, namun sumber polusi banyak dikeluhkan. Jika gas,
seperti SO2,CO2,NOX, sebagai hasil pembakaran disaring menggunakan
filter, maka harga listrik menjadi tinggi dan tak kompetitif dengan
pembangkit lain. Sebaliknya, jika tidak dilakukan tindakan, akan
menyebabkan pencemaran dan merusak lingkungan. Selain itu, PLTU
batu bara masih mengeluarkan radioaktif alam hasil pembakaran dan
debu hasil pengangkutan yang setiap tahunnya mencapai 300.000 ton
pada kapasitas 1000 Mega Watt elektrik (MWe).
Alternatif sumber energi pembangkit daya yang paling aman dan murah
adalah tenaga air. Namun tenaga air ini sangat tergantung curah hujan
dan memerlukan lahan yang sangat besar untuk menampung air.
Padahal lahan yang digunakan cukup subur untuk ditanami tanaman
pangan, serta jumlahnya terbatas, dan lokasinya tak dapat dipindahkan
sesuai keperluan. Demikian pula dengan panas bumi, selain lokasi,
teknologi untuk mengatasi belerang belum ada.
Satu lagi bahan bakar untuk mendidihkan air yaitu uranium 235 dalam
PLTN. Banyak pengamat energi menilai, PLTN sangat ekonomis, kirakira
sama dengan harga PLTU batu bara tanpa pengolahan limbah.
Sebenarnya, ada lima tipe PLTN yang banyak digunakan negara-negara
maju saat ini. Dua tipe Boilling Water Reactor (BWR) dan Pressurized
Water Reactor (PWR) dari Amerika. Kedua tipe, BHWR atau PHWR
dengan pendingin air berat yang dikenal dengan tipe CANDU dari
Canada, serta satu tipe dengan pendingin gas yang dikembangkan di
Amerika dan Inggris.
Pemerintah Indonesia pun akhirnya menyusun rencana pemanfaatan
teknologi nuklir untuk pembangkit listrik. Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (Bapeten), bisa dibilang, instansi yang paling bertanggung jawab
terhadap ’aturan main’ pembangunan PLTN di Indonesia. Sebagai
insitusi bidang pengawasan, Bapeten diberi mandat membuat peraturan
termasuk memberikan izin dan melakukan inspeksi bagi para pengguna
teknologi nuklir di Indonesia. Ada tiga prinsip utama yang menjadi
landasan instansi yang baru dibentuk pada 1998 ini, yaitu keselamatan
(safety), keamanan (security), dan kedamaian (safeguards) .
Acuan dasar pengembangan nuklir di Indonesia, yaitu UU No.10/1997
tentang Ketenaganukliran. Dan sekitar Desember 2006 diterbitkan
Peraturan Pemerintah No.43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir yang
merupakan hasil rembug 15 departemen terkait, termasuk Bapeten.
Dari sisi teknis tenaga nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan)
bahkan sudah bersusah payah mencari lokasi yang dinilai tepat untuk
dibangun PLTN. Dari sekitar 14 tapak yang ditelusuri di seluruh wilayah
Indonesia, akhirnya ditentukan sekitar lima lokasi yang dinilai layak
untuk dibangun PLTN. Namun, kemudian ditentukan satu wilayah yang
paling layak dibangun, yaitu di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara.
Menurut Ferhat Aziz, Kepala Biro Kerjasama Hukum dan Humas Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan) sedikitnya 15 faktor dinilai untuk
kelayakan tapak PLTN di Muria tersebut, lima diantaranya berkaitan
dengan faktor keselamatan pembangunan. ''Boleh dibilang, penyiapan
lokasi ini sebagai insentif pembangunan PLTN tahap awal dari Batan,''
ujarnya.
Untuk Indonesia, Batan merekomendasikan pengembangan PLTN jenis
PWR (pressurized water reactor) atau 'reaktor air tekan'. PWR
menggunakan dua sistem pendingin, primer dan sekunder, berbeda
dengan jenis BWR (boiling water reactor) yang hanya mengggunakan
satu sistem pendingin. ''PWR paling banyak digunakan negara-negara
di dunia, seperti Amerika Serikat, Korea, Jepang dan negara-negara di
Eropa,'' ujarnya.
Namun hal itu belum cukup memuluskan jalan pengembangan tenaga
nuklir untuk pembangkit daya. Menurut Dr Ir As Natio Lasman, Deputi
Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, setelah dikeluarkan
peraturan pemerintah, harus ada pula Keppres dan peraturan Kepala
Bapeten.
Salah satu regulasi yang kini tengah ditunggu kalangan bidang nuklir,
yaitu Keppres mengenai Tim Nasional Pembangunan Nuklir. Keppres
tersebut kini tengah digodok di Sekretariat Negara RI, dan menunggu
disahkan Presiden. Tim Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres
tersebut nantinya akan bertugas menyusun organisasi kepemilikan
PLTN. ''Timnas akan menentukan kepemilikan PLTN apakah swasta
murni, atau campuran swasta dan pemerintah. Jika sudah ditetapkan ,
maka investor baru bisa masuk. Namun, jika pemerintah menunda
keluarnya Keppres tersebut maka dapat dipastikan target operasional
PLTN di Indonesia akan tertunda,'' ujarnya.
Tidak hanya itu saja, sejumlah investor sudah ancang-ancang
membangun PLTN di Indonesia. ''Saya tidak bisa menyebutkan nama
perusahaan tertentu, namun berasal dari Korea, Jepang, Perancis,
Amerika Serikat, termasuk Rusia,'' ujar Ferhat.
Sedangkan perusahaan dalam negeri yang dinilai siap membangun
PLTN di Indonesia, yaitu PT Pembangkit Listrik Negara (PLN). “Dari sisi
sumber daya manusia sudah tentu berpengalaman dalam bidang
pembangkit tenaga listrik, tinggal menambah kemampuan di bidang
nuklir. Bisa mengambil dari sekolah atau perguruan tinggi yang
mendalami bidang nuklir,” imbuhnya.
Disaat pemerintah bergiat menyusun perangkat aturan PLTN, sebagian
kalangan masyarakat justru bersikap sebaliknya, yaitu menentang
pengembangan PLTN di Indonesia. Bupati Kudus, HM Tamzil, misalnya,
menolak rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Dia
kabarnya telah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, DPR, dan DPD untuk mengambil kebijakan yang berpihak
pada rakyat, yakni membatalkan rencana pembangunan PLTN di Muria.
Alasannya pembangunan PLTN belum mendapatkan kesepakatan dari
masyarakat. “Sangat tidak arif dan bijaksana jika pemerintah tetap
memaksakan kehendak membangun PLTN, sementara masyarakat di
sekitar lokasi pembangunan PLTN menolaknya.”
Ketidaksetujuan pembangunan PLTN juga dilontarkan Praktisi kelistrikan
yang juga Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri
Mumpuni. “Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana pembangunan
PLTN di Pulau Jawa. Ketergantungan pada negara lain sangat tinggi.
Kenapa kita tidak mengembangkan pembangkit listrik yang bisa
dibangun sendiri, karena masih banyak potensi yang lain seperti panas
bumi dan air,” Kata Mumpuni, yang sejauh ini telah membangun 60
pembangkit listrik tenaga mikro hidro di beberapa daerah.
Dari kalangan LSM pun juga melontarkan komentar yang senada.
Mereka berpendapat jika pembangunan PLTN dianggap merupakan
suatu opsi untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, maka perlu
dilakukan studi atas aspek kelayakan pembangunan PLTN, yang
mencakup berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi, kelayakan teknis
pilihan lokasi (apakah lokasi termasuk dalam daerah patahan yang
secara geologis rentan terhadap gempa, bahaya gelombang laut atau
tsunami), aspek lingkungan (pencemaran, radiasi nuklir, dan
kemungkinan terjadinya kecelakaan nuklir), aspek sosial budaya dan
psikologis masyarakat, serta aspek pembiayaan dan investasi proyek.
Hasil studi kelayakan nantinya harus secara transparan disampaikan
pada masyarakat.
Penolakan rencana pembangunan PLTN terus menggelinding bak bola
salju. Melihat keadaan seperti ini, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto
berpendapat, jika sampai sekarang terus terjadi penolakan dari
masyarakat, itu berkaitan dengan sosialisasi rencana pembangunan
PLTN belum maksimal. Semestinya sosialisasi menjadi catatan tersendiri
bagi Batan. Sebab, masyarakat khawatir kalau-kalau terjadi efek-efek
dari PLTN yang tidak diinginkan. Untuk itu, Badan Tenaga Atom Nasional
(Batan) diminta memberi penjelasan secara gamblang kepada
masyarakat sekitar calon lokasi PLTN tentang manfaat dan dampak
PLTN.
Menurut kajian Batan tahun 2003, diperoleh gambaran di masa depan
Indonesia menghadapi krisis energi. Apalagi dengan cadangan sumber
daya yang terus menipis diperlukan upaya-upaya serius mengatasinya.
Jika tidak maka Indonesia akan dihadapkan pada krisis energi
berkelanjutan.
Data yang ada menyebutkan cadangan sumber daya minyak bumi di
Indonesia saat ini sekitar 321 miliar barel (1,2% potensi dunia), gas
bumi sekitar 507 TSCF (3,3% potensi dunia), batubara sekitar 50 miliar
ton (3% potensi dunia), panas bumi sekitar 27 ribu MW (40% potensi
dunia), tenaga air sekitar 75 ribu MW (0,02% potensi dunia). Apabila
tingkat produksi tetap seperti tingkat tahun 2002 dan tidak ada
cadangan terbukti yang baru, maka cadangan minyak bumi diperkirakan
akan habis dalam waktu kurang 10 tahun, gas bumi dalam waktu 30
tahun dan batubara dalam waktu 50 tahun. Munculnya PLTN sebagai
solusi akhir mengatasi krisis energi di masa depan perlu menjadi
pertimbangan, tapi munculnya keluhan masyarakat agaknya patut
dicermati kalangan pengambil keputusan.

Rabu, 11 November 2009

PENGENALAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN)


Masyarakat pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam bentuk bom atom yang dijatuhkan di
Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II tahun 1945. Sedemikian dahsyatnya akibat
yang ditimbulkan oleh bom tersebut sehingga pengaruhnya masih dapat dirasakan sampai
sekarang.

Di samping sebagai senjata pamungkas yang dahsyat, sejak lama orang telah memikirkan
bagaimana cara memanfaatkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan umat manusia. Sampai
saat ini tenaga nuklir, khususnya zat radioaktif telah dipergunakan secara luas dalam
berbagai bidang antara lain bidang industri, kesehatan, pertanian, peternakan, sterilisasi
produk farmasi dan alat kedokteran, pengawetan bahan makanan, bidang hidrologi, yang
merupakan aplikasi teknik nuklir untuk non energi. Salah satu pemanfaatan teknik nuklir
dalam bidang energi saat ini sudah berkembang dan dimanfaatkan secara besar-besaran
dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga nuklir (PLTN), dimana tenaga nuklir digunakan
untuk membangkitkan tenaga listrik yang relatif murah, aman dan tidak mencemari
lingkungan. Pemanfaatan tenaga nuklir dalam bentuk PLTN mulai dikembangkan secara komersial sejak tahun 1954. Pada waktu itu di Rusia (USSR), dibangun dan dioperasikan satu unit PLTN air ringan bertekanan tinggi (VVER = PWR) yang setahun kemudian mencapai daya 5 Mwe. Pada tahun 1956 di Inggris dikembangkan PLTN jenis Gas Cooled Reactor (GCR + Reaktor berpendingin gas) dengan daya 100 Mwe. Pada tahun 1997 di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara sedang berkembang telah dioperasikan sebanyak 443 unit PLTN yang tersebar di 31 negara dengan kontribusi sekitar 18 % dari pasokan tenaga listrik dunia dengan total pembangkitan dayanya mencapai 351.000 Mwe dan 36 unit PLTN sedang dalam tahap kontruksi di 18 negara. Perbedaan Pembangkit Listrik Konvensional (PLK) dengan PLTN
Dalam pembangkit listrik konvensional, air diuapkan di dalam suatu ketel melalui
pembakaran bahan fosil (minyak, batubara dan gas). Uang yang dihasilkan dialirkan ke turbin
uap yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin selanjutnya digunakan
untuk menggerakkan generator, sehingga akan dihasilkan tenaga listrik.
Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara, minyak dan g as mempunyai potensi yang
dapat menimbulkan dampak lingkungan dan masalah transportasi bahanbakar dari tambang
menuju lokasi pembangkitan. Dampak lingkungan akibat pembakaran bahan fosil tersebut
dapat berupa CO2 (karbon dioksida), SO2 (sulfur dioksida) dan NOx (nitrogen oksida), serta
debu yang mengandung logam berat. Kekhawatiran terbesar dalam pembangkit listrik
dengan bahan bakar fosil adalah dapat menimbulkan hujan asam dan peningkatan
pemanasan global.

PLTN beroperasi dengan prinsip yang sama seperti PLK, hanya panas yang digunakan untuk
menghasilkan uap tidak dihasilkan dari pembakaran bahan fosil, tetapi dihasilkan dari reaksi
pembelahan inti bahan fisil (uranium) dalam suatu reaktor nuklir. tenaga panas tersebut
digunakan untuk membangkitkan uap di dalam sistem pembangkit uap ( Steam Generator)
dan selanjutnya sama seperti pada PLK, uap digunakan untuk menggerakkan turbingenerator
sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebagai pemindah panas biasa digunakan air
yang disirkulasikan secara terus menerus selama PLTN beroperasi.
Proses pembangkitan listrik ini tidak membebaskan asap atau debu yang mengandung
logam berat yang dibuang ke lingkungan atau melepaskan partikel yang berbahaya seperti
CO2, SO2, NOx ke lingkungan, sehingga PLTN ini merupakan pembangkit listrik yang ramah
lingkungan. Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN adalah berupa
elemen bakar bekas dalam bentuk padat. Elemen bakar bekas ini untuk sementara bisa
disimpan di lokasi PLTN sebelum dilakukan penyimpanan secara lestari.

Tentang Fisika Nuklir

Panas yang digunakan untuk membangkitkan uap diproduksi sebagai hasil dari pembelahan
inti atom yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Apabila satu neutron (dihasilkan dari sumber neutron) tertangkap oleh satu inti
atom uranium-235, inti atom ini akan terbelah menjadi 2 atau 3 bagian/fragmen.
Sebagian dari energi yang semula mengikat fragmen-fragmen tersebut masingmasing
dalam bentuk energi kinetik, sehingga mereka dapat bergerak dengan
kecepatan tinggi. Oleh karena fragmen-fragmen itu berada di dalam struktur kristal
uranium, mereka tidak dapat bergerak jauh dan gerakannya segera diperlambat.
Dalam proses perlambatan ini energi kinetik diubah menjadi panas (energi termal).
Sebagai gambaaran dapat dikemukakan bahwa energi termal yang dihasilkan dari
reaksi pembelahan 1 kg uranium-235 murni besarnya adalah 17 milyar kilo kalori,
atau setara dengan energi termal yang dihasilkan dari pembakaran 2,4 juta kg
(2400 ton) batubara. Selain fragmen-fragmen tersebut reaksi pembelahan menghasilkan pula 2 atau 3 neutron yang dilepaskan dengan kecepatan lebih besar dari 10.000 km per detik.
Neutron-neutron ini disebut neutron cepat yang mampu bergerak bebas tanpa
dirintangi oleh atom-atom uranium atau atom-atom kelongsongnya. Agar mudah
ditangkap oleh inti atom uranium guna menghasilkan reaksi pembelahan,
kecepatan neutron ini harus diperlambat. Zat yang dapat memperlambat kecepatan
neutron disebut moderator.

Air Sebagai Pemerlambat Neutron (Moderator)

Seperti telah disebutkan di atas, panas yang dihasilkan dari reaksi pembelahan, oleh air
yang bertekanan 160 atmosfir dan suhu 300 0C secara terus menerus dipompakan ke dalam
reaktor melalui saluran pendingin reaktor. Air bersirkulasi dalam saluran pendingin ini tidak
hanya berfungsi sebagai pendingin saja melainkan juga bertindak sebagai moderator, yaitu
sebagai medium yang dapat memperlambat neutron. Neutron cepat akan kehilangan
sebagian energinya selama menumbuk atom-atom hidrogen. Setelah kecepatan neutron
turun sampai 2000 m per detik atau sama dengan kecepatan molekul gas pada suhu 300
0C, barulah ia mampu membelah inti atom uranium-235. Neutron yang telah diperlambat
disebut neutron termal.

Reaksi Pembelahan Inti Berantai Terkendali

Untuk mendapatkan keluaran termal yang mantap, perlu dijamin agar banyaknya reaksi
pembelahan inti yang terjadi dalam teras reaktor dipertahankan pada tingkat tetap, yaitu 2
atau 3 neutron yang dihasilkan dalam reaksi itu hanya satu yang dapat meneruskan reaksi
pembelahan. Neutron lainnya dapat lolos keluar reaktor, atau terserap oleh bahan lainnya tanpa
menimbulkan reaksi pembelahan atau diserap oleh batang kendali. Batang kendali dibuat
dari bahan-bahan yang dapat menyerap neutron, sehingga jumlah neutron yang
menyebabkan reaksi pembelahan dapat dikendalikan dengan mengatur keluar atau
masuknya batang kendali ke dalam teras reaktor.
Sehubungan dengan uraian di atas perlu digarisbawahi bahwa :
a. Reaksi pembelahan berantai hanya dimungkinkan apabila ada moderator.
b. Kandungan uranium-235 di dalam bahan bakar nuklir maksimum adalah 3,2 %.
Kandungan ini kecil sekali dan terdistribusi secara merata dalam isotop uranium-238,
sehingga tidak mungkin terjadi reaksi pembelahan berantai secara tidak terkendali di
dalamnya.

Radiasi dan Hasil Belahan

Fragmen-fragmen yang diproduksi selama reaksi pembelahan inti disebut hasil belahan,
yang kebanyakan berupa atom-atom radioaktif seperti xenon-133, kripton-85 dan iodium-
131. Zat radioaktif ini meluruh menjadi atom lain dengan memancarkan radiasi alpha, beta,
gamma atau neutron. Selama proses peluruhan, radiasi yang dipancarkan dapat diserap oleh bahan-bahan lain yang berada di dalam reaktor, sehingga energi yang dilepaskan berubah menjadi panas. Panas ini disebut panas peluruhan yang akan terus diproduksi walaupun reaktor berhenti beroperasi. Oleh karena itu reaktor dilengkapi dengan suatu sistem pembuangan panas
peluruhan. Selain hasil belahan, dalam reaktor dihasilkan pula bahan radioaktif lain sebagai
hasil aktivitas neutron. Bahan radioaktif ini terjadi karena bahan-bahan lain yang berada di
dalam reaktor (seperti kelongsongan atau bahan struktur) menangkap neutron sehingga
berubah menjadi unsur lain yang bersifat radioaktif.
Radioaktif adalah sumber utama timbulnya bahaya dari suatu PLTN, oleh karena itu semua
sistem pengamanan PLTN ditujukan untuk mencegah atau menghalangi terlepasnya zat
radioaktif ke lingkungan dengan aktivitas yang melampaui nilai batas ambang yang diizinkan
menurut peraturan yang berlaku.
Keselamatan Nuklir
Berbagai usaha pengamanan dilakukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan
masyarakat, para pekerja reaktor dan lingkungan PLTN. Usaha ini dilakukan untuk menjamin
agar radioaktif yang dihasilkan reaktor nuklir tidak terlepas ke lingkungan baik selama
operasi maupun jika terjadi kecelakaan.
Tindakan protektif dilakukan untuk menjamin agar PLTN dapat dihentikan dengan aman
setiap waktu jika diinginkan dan dapat tetap dipertahanan dalam keadaan aman, yakni
memperoleh pendinginan yang cukup. Untyuk ini panas peluruhan yang dihasilkan harus
dibuang dari teras reaktor, karena dapat menimbulkan bahaya akibat pemanasan lebih pada
reaktor.

Keselamatan terpasang

Keselamatan terpasang dirancang berdasarkan sifat-sifat alamiah air dan uranium.
Bila suhu dalam teras reaktor naik, jumlah neutron yang tidak tertangkap maupun
yang tidak mengalami proses perlambatan akan bertambah, sehingga reaksi
pembelahan berkurang. Akibatnya panas yang dihasilkan juga berkurang. Sifat ini
akan menjamin bahwa teras reaktor tidak akan rusak walaupun sistem kendali gagal
beroperasi.

Penghalang Ganda

PLTN mempunyai sistem pengaman yang ketat dan berlapis-lapis, sehingga
kemungkinan terjadi kecelakaan maupun akibat yang ditimbulkannya sangat kecil.
Sebagai contoh, zat radioaktif yang dihasilkan selama reaksi pembelahan inti uranium
sebagian besar (> 99%) akan tetap tersimpan di dalam matriks bahan bakar, yang
berfungsi sebagai penghalang pertama.
Selama operasi maupun jika terjadi kecelakaan, kelongsongan bahan bakar akan
berperan sebagai penghalang kedua untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif
tersebut keluar kelongsongan. Dalam hal zat radioaktif masih dapat keluar dari dalam
kelongsongan, masih ada penghalang ketiga yaitu sistem pendingin. Lepas dari sistem
pendingin, masih ada penghalang keempat berupa bejana tekan dibuat dari baja
dengan tebal ± 20 cm. Penghalang kelima adalah perisai beton dengan tebal 1,5-2 m.
Bila zat radioaktif itu masih ada yang lolos dari perisai beton, masih ada penghalang
keenam, yaitu sistem pengungkung yang terdiri dari pelat baja setebal ± 7 cm dan
beton setebal 1,5-2 m yang kedap udara.
Jadi selama operasi atau jika terjadi kecelakaan, zat radioaktif benar-benar tersimpan
dalam reaktor dan tidak dilepaskan ke lingkungan. Kalaupun masih ada zat radioaktif
yang terlepas jumlahnya sudah sangat diperkecil sehingga dampaknya terhadap
lingkungan tidak berarti

Pertahanan Berlapis

Disain keselamatan suatu PLTN menganut falsah pertahanan berlapis (defence in
depth). Pertahanan berlapis ini meliputi : lapisan keselamatan pertama, PLTN
dirancang, dibangun dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan yang sangat ketat,
mutu yang tinggi dan teknologi mutakhir; lapis keselamatan kedua, PLTN dilengkapi
dengan sistem pengaman/keselamatan yang digunakan untuk mencegah dan
mengatasi akibat-aibat dari kecelakaan yang mungkin dapat terjadi selama umur
PLTN dan lapis keselamatan ketiga, PLTN dilengkapi dengan sistem pengamanan
tambahan, yang dapat diperkirakan dapat terjadi pada suatu PLTN. Namun demikian
kecelakaan tersebut kemungkinan terjadinya sedemikian sehingga tidak akan pernah
terjadi selama umu uperasi PLTN.

Limbah Radioaktif

Selama operasi PLTN, pencemaran yang disebabkan oleh zat radioaktif terhadap linkungan
dapat dikatakan tidak ada. Air laut atau sungai yang dipergunakan untuk membawa panas
dari kondesnsor sama sekali tidak mengandung zat radioaktif, karena tidak bercampur
dengan air pendingin yang bersirkulasi di dalam reaktor.
Gas radioaktif yang dapat keluar dari sistem reaktor tetap terkungkung di dalam sistem
pengungkung PLTN dan sudah melalui sistem ventilasi dengan filter yang berlapis-lapis. Gas
yang dilepas melalui cerobong aktivitasnya sangat kecil (sekitar 2 milicurie/tahun), sehingga
tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas rendah (70 – 80
%). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur ulang elemen bakar nuklir
bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur ulang, limbah aktivitas tinggi ini
jumlahnya sangat sedikit.

Penangan limbah radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya
mengikuti tiga prinsip, yaitu :
- Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi, kompaksi/ditekan.
- Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk memudahkan
dalam transportasi dan penyimpanan.
- menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi.

Pengolahan limbah cair dengan cara evaporasi/pemanasan untuk memperkecil volume,
kemudian dipadatkan dengan semen (sementasi) atau dengan gelas masif (vitrifikasi) di
dalam wadah yang kedap air, tahan banting, misalnya terbuat dari beton bertulang atau dari
baja tahan karat.

Pengolahan limbah padat adalah dengan cara diperkecil volumenya melalui proses
insenerasi/pembakaran, selanjutnya abunya disementasi. Sedangkan limbah yang tidak
dapat dibakar diperkecil volumenya dengan kompaksi/penekanan dan dipadatkan di dalam
drum/beton dengan semen. Sedangn limbah padat yang tidak dapat dibakar atau tidak dapat
dikompaksi, harus dipotong-potong dan dimasukkan dalam beton kemudian dipadatkan
dengan semen atau gelas masif. Selanjutnya limbah radioaktif yang telah diolah disimpan secara sementara (10-50 tahun) di gudang penyimpanan limbah yang kedap air sebelum disimpan secara lestari. Tempat penyimpanan lembah lestari dipilih di tempat/lokasi khusus, dengan kondisi geologi yang stabil dan secara ekonomi tidak bermanfaat.